Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.
Hutan Konservasi terdiri dari :
·Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka
Margasatwa (SM);
·Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) berupa Taman Nasional (TN),
Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA); dan
·Taman Buru (TB).
Kawasan hutan Suaka Alam
(KSA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Kawasan hutan Pelestarian
Alam (KPA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya
Masing-masing bagian dari
KSA dan KPA dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
·CAGAR ALAM (CA)
adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan perkembangannya berlangsung secara alami.
·SUAKA MARGASATWA (SM)
adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dn
atau keunikan jenis satwa bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan kebanggaan
nasional yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap
habitatnya.
·TAMAN
NASIONAL (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa,
pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dilakukan oleh
Pemerintah.
·TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)
adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa
yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan jenis asli yang dimanfaatkan
bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya
tumbuhan dan atau satwa, budaya, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan
Taman Hutan Raya dilakukan oleh Pemerintah.
·TAMAN WISATA ALAM (TWA)
adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi
kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan Kawasan Taman Wisaha Alam
dilakukan oleh Pemerintah.
·TAMAN BURU (TB)
adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Manusia hidup di alam ini butuh pergaulan, bergaul antar sesama manusia, manusia antar hewan, manusia antar tumbuhan. Setelah itu hubungan antar manusia dengan Tuhannya. Semua itu juga membutuhkan korelasi yang seimbang agar hidup dapat berjalan di atas rodanya sendiri.
Begitu juga dengan AKU, kehidupan di kota sangat membosankan karena manusianya sudah tidak dapat menyeimbangkan diri. Gunung, Hutan, Pantai, Tebing dan tempat alam terbuka lainnya menjadi tempat yang momok bagiku dalam menghargai kehidupan, bukan sebaliknya (mencintai kematian, red).
Di alam terbukalah kutemukan ketenangan batin, makna kehidupan bahkan betapa Maha Besarnya ciptaan Tuhan. Dari situlah korelasi keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani terpenuhi.
Mungkin orang-orang menilai, aku adalah anak begadulan yang tidak jelas rimbanya, tidak punya masa depan yang cerah, ataupun generasi sampah masyarakat. Oke Anda menganggap aku sebagai sampah, tapi aku punya kritik bagi Anda selaku orang beradab. "Jangan kotori alamku dengan sampahmu, jadi buanglah sampah pada tempatnya sebelum Anda jadi sampah dan terbuang!!".
Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk
evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada
saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi
dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya
alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada
pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut
:
Konservasi adalah menggunakan
sumber daya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar
dalam waktu yang lama (American Dictionary).
Konservasi
adalah alokasi sumber daya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara
sosial (Randall, 1982).
Konservasi
merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk
manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat
termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi,
preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
Konservasi
adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan
atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk
generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
Dalam
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
disebutkan bahwa Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari
alam hewani, alam nabati atau fenomena alam mempunyai fungsi sebagai pembentuk
lingkungan hidup dari tiap generasi. Kerusakan ataupun kepunahan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya adalah kerugian bagi manusia yang tidak dapat
ternilai oleh materi. Sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula adalah hal
yang tidak mungkin.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat ditarik
sebuah pengertian yang lebih terarah. Bahwa konservasi adalah upaya pemerintah
dan masyarakat dalam menjaga kelestarian sekaligus merehabilitasi sumber daya
alam hayati serta ekosistemnya. Apabila dilakukan pemanfaatan atas sumber daya
alam maka pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaan sumber daya alam tersebut. Sehingga pada akhirnya upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara keseluruhan
merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat secara umum.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990
ALAM HAYATI DAN
EKOSISTEMNYA
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA
bahwa sumber daya alam
hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan
penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu
perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan
seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan;
bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan
nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang
lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah
satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya
alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan
langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta
melekat dengan pembangunan itu sendiri;
bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan
masih berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial yang
bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum
nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang
perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dalam suatu undang-undang.
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20
ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3215);
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299).
Dengan
persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
Sumber daya alam hayati
adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam
nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan
unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Konservasi sumber daya
alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya.
Ekosistem sumber daya alam
hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik
hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
Tumbuhan adalah semua
jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.
Satwa adalah semua jenis
sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di
udara.
Tumbuhan liar adalah
tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih
mempunyai kemurnian jenisnya.
Satwa liar adalah semua
binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang
masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia.
Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa
dapat hidup dan berkembang secara alami.
Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
Cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami.
Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa
yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap
habitatnya.
Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari
ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami
degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi
kepentingan penelitian dan pendidikan.
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri
khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam
untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis
asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam
yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN
Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami
dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi
terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Pemerintah menetapkan:
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga
kehidupan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di
perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan
fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap
penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak
dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan
secara alami dan atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya
diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.
BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA
Pasal 11
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Pasal 12
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar
tetap dalam keadaan asli.
Pasal 13
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam
dan di luar kawasan suaka alam.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka
alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa
tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka
alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa
untuk menghindari bahaya kepunahan.
BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM
Pasal 14
Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.
Pasal 15
Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga
berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah
sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan
pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang
berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan
kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata
terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Dalam rangka kerjasama konservasi internasional, khususnya
dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan suaka alam dan
kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.
(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu
lainnya sebagai cagar biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka
margasatwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas
kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak
asli.
BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 20
(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam:
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
(3) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Setiap orang
dilarang untuk :
a. mengambil, menebang,
memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b.
mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup
atau mati dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2)
Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai,
membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan mati;
c.
mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.
memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain
satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.
mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur
dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Pasal 22
(1) Pengecualian
dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan
dan satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam
penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau
penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin
Pemerintah.
(3) Pengecualian
dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula
dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan
kehidupan manusia.
(4) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Apabila
diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Apabila terjadi
pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan
satwa tersebut dirampas untuk negara.
(2) Jenis tumbuhan
dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara
dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak
di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak
memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Pasal 25
(1) Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk
pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk
itu.
(2) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 27
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam
dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.
Pasal 28
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan
dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa liar.
BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM
Pasal 29
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 terdiri dari:
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah
sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan
dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 31
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.
Pasal 32
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang
terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan
keperluan.
Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi
dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain
yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan
raya, dan taman wisata alam.
Pasal 34
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana
pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah
dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk
mempertahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta
ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya
untuk selama waktu tertentu.
BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat
dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT
Pasal 37
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan
penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang
tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 39
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
(3)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksanaan atas laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada
dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang
bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 40
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) adalah pelanggaran.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan suaka
alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan
perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya
yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap
berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada
saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie
1931 Staatsblad 1931 Nummer 133);
Ordonansi Perlindungan
Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad
1931 Nummer 134);
Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtoddonnantie
Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
Ordonansi Perlindungan
Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer
167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 44
Undang-undang
ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.
Pasal 45
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1990 NOMOR 49
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan
ttd
Bambang Kesowo,
S.H.,LL.M.
Indonesia
terletak diantara Benua Asia dan Australia memiliki keanekaragaman jenis yang
besar dengan keunikan-keunikan tersendiri, banyak diantaranya jenis-jenis
endemis. Sebagian besar daratan Indonesia didominasi oleh Hutan Hujan Tropika
yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan besar dan sedikit sekali yang
telah diketahui mengenai manfaat dan peranan dari masing-masing jenis
pembentuknya.
Pada
dewasa ini berkembangnya perladangan liar, penebangan hutan secara serampangan,
pembukaan lahan tanpa rencana, penggunaan pestisida secara berlebihan, serta
perkembangan industri yang menimbulkan pencemaran, mengakibatkan terjadinya
erosi genetika; yang sekali suatu jenis biota punah, manusia tak mampu
mengembalikan. Padahal manfaatnya untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan
manusia belum sempat dikembangkan.
Perkembangan
dewasa ini sebagai akibat intensifikasi berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya
hayati, timbul berbagai masalah ketimpangan ekologi. Hal tersebut perlu
mendapat perhatian didalam memelihara kesesuaian lingkungan hidup dan menjaga
kelestarian flora dan fauna yang keduanya di alam telah langka.
Sumber
Daya Alam Hayati merupakan tulang punggung ekonomi dan merupakan sumber
kesejahteraan manusia karena sifatnya yang dapat diperbaharui dan
pemanfaatannya dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan. Karena itu mempertahankan keanekaragaman jenis baik flora maupun
fauna mutlak diperlukan, dan merupakan kewajiban serta tanggung jawab nasional.
Kita menyadari bahwa kemusnahan suatu jenis flora dan fauna dari muka bumi,
berarti hilangnya satu nilai bagi kemanusiaan untuk selama-lamanya.
Dalam
masa pembangunan sekarang ini, masalah menjaga keserasian lingkungan semakin
penting. Usaha penyelamatan Sumber Daya Alam Hayati merupakan bagian dari
kegiatan pembangunan. Konsepsi perlindungan dan pengawetan Sumber Daya Alam
Hayati yang menjadikan jenis-jenis langka semata-mata sebagai sasarannya kini
telah beralih kepada usaha perlindungan dan pengawetan terhadap tipe-tipe
ekosistem dengan segenap anggota unsur pembentuknya.
Usaha
perlindungan dan pengawetan alam perlu dipadukan dengan usaha pelestarian tanpa
mengurangi dan mengganggu tercapainya tujuan pokok usaha konservasi, misalnya
pemanfaatan bagi pengembangan ilmu, pendidikan, rekreasi, tourisme, bahkan
membantu pemutaran roda ekonomi khususnya untuk peningkatan pemerataan kesejahteraan
rakyat banyak.
Adanya
suaka alam berupa cagar alam dan suaka marga satwa yang beupa taman wisata ,
taman safari hingga taman nasional, daerah penangkaran satwa maupun kebun
binatang dan adanya kebun botani serta penetapan jenis-jenis flora dan fauna
yang dilindungi dengan UU Perlindungan Alam merupakan perwujudan upaya dan
ikhtiar untuk menjaga Sumber Daya Alam Hayati dari ancaman bahaya punah.